Jejak Pilkada Ibu Kota
Jumlah Pemilih pada Pilkada Langsung di Jakarta
Sejak pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemilihan gubernur DKI Jakarta dilakasankan secara langsung . Sebelumya pejabat pemerintah provinsi tersebut dipilih oleh anggota DPRD, yang merupakan perwakilan partai politik. Partai politik dengan jumlah perwakilan lebih banyak, dan tokoh
dibelakangnya biasanya yang paling menentukan, siapa yang akan memimpin ibu
kota.
Pilkada langsung pertama di provinsi DKI Jakarta diselenggarkan
pada 8 Agustus 2007. Waktu itu tercatat dalam
sejarah di mana warga ibu kota yang telah memiliki hak pilih datang
beramai-ramai ke bilik-bilik suara
untuk memilih pemimpinnya.
Tak ubahnya hajat
pemilu nasional, pesta demokrasi kelas provinsi ini pun begitu meriah. Selain kampanye partai-partai politik pengusung, tim sukses masing-masing pasangan calon aktif melakukan konsolidasi menentukan strategi untuk merebut hati pemilih.
Perolehan suara terbanyak pada pemilu legislatif tahun 2004 yakni sebesar 23 persen, di raih Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS dengan percaya diri mencalonkan mantan Wakil Kapolri Komisari Jenderal Polisi (purn), Adang Daradjatun sebagai calon gubernur dan Dani Anwar, salah seorang kader PKS sebagai calon wakil gubernur pada Pilkada di DKI Jakarta 2007,
Pasangan yang
rencana akan melakukan perubahan di ibu kota itu berhadapan dengan Fauzi Bowo, birokrat sejati
di pemprov DKI dan Mayor Jenderal TNI (purn) Prijanto, mantan Aster Kasad. Keduanya
diusung oleh gabungan 20 partai politik. Partai tersebut adalah Partai
Demokrat, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Damai
Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Bulan Bintang (PBB),
Partai Patriot Pancasila, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI),
Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Keadilan Persatuan (PKPI), Partai
Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Pelopor, PNI Mahhaenisme, Partai
Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Indonesia Baru (PIB) dan Partai Persatuan
Daerah (PPD).
Dukungan solid dari PKS dan relawannya tidak berhasil
mengalahkan kekuatan besar.
Pasangan Adang Daradjatun dan
Dani Anwar hanya memperoleh 42,193 persen suara sementara
Pasanngan Fauzi Bowo dan Prijandi mendapat 57,807 persen suara,
Berbeda dengan priode sebelumnya, pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012 terasa lebih meriah dan
demokratis, karena diikuti enam pasangan calon, termasuk di dalamnya dua pasangan dari jalur
independen.
Keenam pasangan calon itu adalah gubernur petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Mayor Jenderal TNI (purn) Nachrowi Ramli. Pasangan tersebut diusung Partai Demokrat, PAN, Hanura, PKB, PBB, Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU) dan Partai Matahari Bangsa (PMB). Kemudian PDI Perjuangan dan Gerindra mengusung Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi), dan mantan bupati Bangka Belitung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Partai Kedilan Sejahtera mencalonkan kadernya Hidayat Nur Wahid. Mantan Ketua MPR itu
berpasangan dengan ekonom Didik J
Rachbini. Dan Gubernur
Sumatera Selatan Alex Noerdin dipasangkan dengan mantan Komandan Marinir Letnan Jenderal TNI (purn) Nono Sampono. Pasangan yang terakhir diusung oleh Partai Golkar, PPP dan 16 partai-partai kecil.
Dua pasangan lainnya yang maju
melalui jalur independan adalah, Faisal Basri yang merupakan ekonom UI. Ia berpasangan dengan Biem Benjamin, putra tokoh Betawi Benyamin
S, serta Hendarman Supanji, mantan
Komandan Polisi Militer dan Riza Patria, kader Partai Gerindra.
Sesuai persyaratan, kedua pasangan jalur independen dapat maju dalam
pilkada DKI Jakarta setelah mendapat
dukungan 4 persen dari jumlah penduduk DKI, yang dapat dibuktikan dengan
pengumpulan minimal 407.345 jumlah KTP
pendukung
Banyaknya pasangan calon di periode ini membuat suara
pemilih menjadi terbagi. Dari enam pasangan tidak ada suaranya yang cukup untuk menjadi pemenang. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintahan DKI Jakarta mensyaratkan calon gubernur terpilih adalah
mereka yang memperoleh lebih dari 50 persen suara. Jika syarat itu tak
terpenuhi, maka dilakukan putaran kedua.
Pada putaran pertama pasangan
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli memperoleh suara 34,05 persen. Jokowi-Ahok 42,6 persen,
Hidayat Nur Wahid-Didik J
Rachbini 11,72 persen,
Alex Noerdin dan Nono Sampurno 4,67 persen,
Faisal Basri-Biem Benjamin 4,98 persen dan Hendaraman
Supandji-Reza Patria 1,98 persen.
Putaran kedua yang dilaksanakan
dua bulan berikutnya, dua pasangan calon dengan suara terbanyak, yaitu pasangan Joko Widodo-Ahok
dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli bersaing
untuk merebut DKI 1.
Pasangan Jokowi-Ahok kala itu sangat populer di berbagai lapisan
masyarakat ibu kota. Kemeja kotak-kotak yang dipakai saat mereka kampanye menjadi simbol keberagaman warga, baik dari suku,
etnis maupun agama.
Hasil pilkada putaran kedua pun membuktikan, Jokowi yang pernah menjabat Wali Kota Solo dua periode bersama calon wakilnya Ahok memenangkan pilkada di Ibu Kota Jakarta, dengan perolehan suara 53,82 persen. Sementara pesaingnya sekaligus sebagai petahana, Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli mendapat 46,17 persen.
Keberhasilan Jokowi menjadi gubernur DKI membawanya ke kancah perpolitikan nasional. Pada tahun kedua masa jabatannya sebagai gubernur, ia menerima dicalonkan partainya, PDI Perjuangkan sebagai presiden, dan menang dalam pemilu tahun 2014. Sisa jabatannya sebagai gubernur dilanjutkan oleh Ahok, yang kemudian didampingi Djarot Syaiful Hidayat, seorang kader PDI Perjuangan sebagai wakilnya.
Pilkada tahun 2017 ada tiga
pasangan calon gubernur yang bersaing. Mereka adalah Agus Harimurti Yudhoyono
(AHY), yang demi pencalonannya rela berhenti dari karier militer, dengan
pangkat Mayor. Putra pertama mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu berpasangan dengan Sylvia Murni, seorang
pejabat Pemprov DKI. Pasangan ini diusung oleh partai Demokrat, PPP, PAN, PKB
dan tujuh partai kecil lainnya.
Pasangan petahana, Ahok dan Djarot diusung lima partai berhaluan nasionalis, yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Hanura dan PSI. Sementara Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan nasional pada awal pemerintahan Jokowi bersama pengusaha Sandiaga Uno didukung Partai Gerindra, PKS, Perindo dan Partai Idaman.
Persaingan antar pasangan calon terbilang
senggit, bahkan cenderung keras. Di antara pendukung saling hujat di media
sosial. Berbagai berita hoax disebarkan, bahkan saling lapor
kasus ke kantor polisi atau KPK.
Pilkada kali ini juga berlangsung dua putaran. Dalam putaran
pertama pasangan Ahok-Djarot menjadi pemenang dengan raihan suara 42, 96
persen. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno 39,97 persen, dan Agus-Sylvi 17,06
persen.
Menuju pemilihan putaran kedua,
antara pasangan Ahok-Djarot dengan Anies Baswedan-Sandiaga Uno suasana politik semakin panas. Terjadi
polarisasi di tengah masyarakat, dan melebar tidak hanya di ibukota Jakarta.
Pasangan Ahok-Djarot yang dalam survei elektabilitasnya turun
menjelang pemilihan putaran kedua, akhirnya harus mengakui kemenangan
Anies Baswedan-Sandiga Uno. Pasangan
calon yang sering dituduh melakukan politik identitas itu meraup 58 persen suara, sementara
Ahok-Djarot 42 persen. (Litbang/RIS)
- Penggunaan materi wajib mencantumkan kredit dengan format: ‘Kompas/Nama Penulis’.
- Materi tidak boleh digunakan sebagai sarana/materi kegiatan atau tindakan yang melanggar norma hukum, sosial, SARA, dan mengandung unsur pelecehan/ pornografi/ pornoaksi/ diskriminasi.
- Data/informasi yang tertera pada materi valid pada waktu dipublikasikan pertama kali, jika ada perubahan atau pembaruan materi oleh sumber di luar Kompas bukan tanggungjawab Kompas.
- Pelanggan tidak boleh mengubah, memperbanyak, mengalihwujudkan, memindahtangankan, memperjual-belikan materi tanpa persetujuan dari Kompas.
Suggestion